Vonis Mati Pemerkosa Santriwati di Bandung, Akademisi: Pertama di Indonesia

- 14 April 2022, 11:41 WIB
Predator seks Herry Wirawan divonis hukuman mati. Peristiwa pemerkosaan yang menjerat seorang pemimpin pesantren kepada belasan santriwati tahun lalu menjadi sebuah kejadian kelam di dunia pendidikan.
Predator seks Herry Wirawan divonis hukuman mati. Peristiwa pemerkosaan yang menjerat seorang pemimpin pesantren kepada belasan santriwati tahun lalu menjadi sebuah kejadian kelam di dunia pendidikan. /PMJ News

PORTAL BONTANG - Peristiwa pemerkosaan yang menjerat seorang pemimpin pesantren kepada belasan santriwati tahun lalu menjadi sebuah kejadian kelam di dunia pendidikan.

Setelah melalui panjangnya proses hukum yang awalnya pidana penjara seumur hidup, lalu yang terbaru berubah menjadi vonis hukuman mati kepada pemerkosa santriwati tersebut.

Melihat akan hal itu, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ratri Novita Erdianti menanggapi kasus pemerkosaan santriwati tersebut dari aspek hukum.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa 11 Ramadhan 1443 H, 13 April 2022 Wilayah Bontang, Samarinda, dan Balikpapan

Ratri, sapaan akrabnya menjelaskan, peraturan akan kasus tersebut sudah tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Di dalam UU terkait, telah diatur pemberian hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual. Menurutnya, apa yang dilakukan sang pelaku pemerkosaan adalah kejahatan serius yang melebihi batas manusia.

Namun di sisi lain hukuman mati tentu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Meski begitu, keputusannya masih tergantung pada aspek jumlah korban, dampak yang dirasakan hingga pelaku.

Dari tiga aspek tersebut, akan muncul pertimbangan yang menentukan berat atau ringannya hukuman.

Baca Juga: 5 Manfaat Timun Suri Bagi Kesehatan, Cocok Jadi Hidangan Buka Puasa

“Kejahatan yang dilakukan pelaku menurut saya telah melewati batas kemanusiaan. Maka kejahatan yang serius harus diberi hukuman yang serius pula agar memberikan efek jera. Tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi masyarakat luas,” katanya kepada PortalBontang.com dalam rilisnya, Kamis 14 April 2022.

Dosen asal Pasuruan itu mengungkapkan, vonis hukuman mati untuk kasus terkait adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia bagi pelaku kekerasan seksual.

Menurutnya, ketika hakim memutuskan sebuah kasus pidana, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Utamanya yang menyangkut aspek korban yang harus dilihat secara psikologis. Pun dengan masa depan yang akan dihadapi oleh belasan korban tersebut.

Baca Juga: Bandara Soekarno-Hatta Dinilai Jadi Bandara Teraman se-ASEAN

Lebih lanjut. ketika nanti ada kasus yang serupa, disparitas bisa saja terjadi. Maksudnya adalah hukuman yang diputuskan nantinya tidak akan selalu sama dengan kasus pemerkosaan santriwati tersebut.

Hal itu karena kondisi dan situasi kasus yang mungkin berbeda pula. Begitupun jika mengajukan upaya banding yang tidak selalu menghasilkan hukuman yang ringan, tapi bisa juga menjadi lebih berat.

“Ketika mengajukan banding, bukan berarti hukuman pelaku pasti diringankan. Bahkan bisa jadi sebaliknya yakni diberikan hukuman yang lebih berat,” ucapnya.

Ratri kembali menjelaskan bahwa peristiwa kelam dan hukuman mati kepada pelaku ini, menjadi pembelajaran dan edukasi bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan serius.

Baca Juga: Putra Siregar dan Rico Valentino Resmi Ditahan, Jadi Tersangka Pengeroyokan

Selain itu, peristiwa ini nyatanya juga berefek pada penurunan kepercayaan masyarakat kepada instansi pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren.

“Tentu perlu adanya pencegahan agar hal yang sama tidak terjadi, baik di lingkungan Ponpes, sekolah, dan tempat umum. Negara juga harus mengambil peran signifikan untuk menjamin keamanan bagi seluruh masyarakatnya. Pun dengan upaya monitoring yang harus dilakukan oleh orang tua, guru, dinas pendidikan hingga kementerian agama,” ujarnya. ***

Editor: M. Zulfikar


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah