Aturan Minimum 60 Murid agar Sekolah Dapat Dana BOS Ditunda

- 9 September 2021, 12:31 WIB
Nadiem Makarim.
Nadiem Makarim. /Pikiran Rakyat Bogor/Bayu Nurullah

PORTAL BONTANG - Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim menunda aturan minimum 60 murid agar sekolah dapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Aturan minimum untuk memperoleh dana BOS reguler 2021-2022 yang akan diterapkan Kemendikbud Ristek sebelumnya menuai polemik di kalangan sekolah dan pendidik.

Penundaan aturan baru dana BOS tersebut disampaikan Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu, 8 September 2021.

Baca Juga: Perut Adalah Sumber Penyakit Dalam Tubuh? dr. Zaidul Akbar Beri Jawabannya

Dikutip PortalBontang.com dari berita Pikiran-Rakyat.com berjudul "Nadiem Makarim Tunda Aturan Baru BOS, Pandemi Covid-19 Jadi Alasan".

Menurut Nadiem, dasar pengkajian berangkat dari besarnya dampak pandemi Covid-19.

Perlu fleksibilitas dan tenggang rasa ke­pada sekolah yang masih sulit me­la­kukan transisi untuk menjadi sekolah yang skala minimumnya lebih besar.

"Itulah yang ingin kami laku­kan. Kami tidak akan memberla­ku­kan persyaratan ini pada 2022. Semoga ini bisa menenangkan masyarakat," tuturnya.

Baca Juga: Amel Carla Kenalan dengan Buaya Riska di Bontang, Lihat Aksinya

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Sofyan Tan berharap persyaratan itu tak hanya ditangguhkan sampai 2022, tapi sampai 2024.

Hal itu berangkat dari kondisi perbaikan ekonomi yang kemungkinan besar bisa pulih dalam jang­ka waktu 2-3 tahun.

"Memang hari ini pandemi melan­dai, tapi kerusakan ekonomi baru bisa pulih dalam 2-3 tahun sehingga kondisi ini berdampak terhadap masya­rakat kita," tuturnya.

Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengata­kan, persyaratan dana BOS pantas diberlakukan untuk meningkatkan kinerja sekolah, khususnya swas­­ta.

Baca Juga: Update Kasus Covid-19 Bontang 8 September 2021: Angka Positif Kembali Tinggi, Jangan Lengah

Syarat minimum 60 siswa dalam penyaluran dana BOS dipandang memiliki niat baik, yakni me­macu kinerja sekolah sekaligus me­nge­lola sekolah-sekolah agar bisa sehat.

Bagi sekolah-sekolah yang berada di lokasi (ter­depan, terluar, tertinggal (3T) dan kuota muridnya tak me­me­nuhi syarat, Heru menilai perlu ada opsi BOS lain yang bisa digunakan.

Misalnya, BOS Afirmasi dan BOS Kinerja. Bila peme­rintah tak memberla­kukan per­syaratan ini, Heru menilai, langkah tersebut bisa jadi tak mendidik agar sekolah tersebut ber­ju­ang, men­a­rik simpati masy­a­rakat se­hing­­ga bisa menerima murid dengan lebih banyak lagi.

"Apabila pengelola pendi­dikan berbasis masyarakat be­kerja keras memajukan se­kolah dan berhasil merebut hati serta meyakinkan orang tua, maka jumlah minimal peserta didik 60 orang tersebut dapat dipenuhi dalam kurun waktu 1-6 tahun. Jadi si­lahkan pihak sekolah swasta berkompetisi memenuhi target jumlah minimum siswa se­suai ketentuan pemerintah," katanya.

Baca Juga: Daftar Lengkap Tarif Tol Balikpapan-Samarinda Antar Gerbang, Berlaku Mulai 8 September 2021

Sulit merger

Sekjen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ja­wa Barat Maman Sulaeman mengapresiasi langkah Nadiem yang memastikan tidak akan memberlakukan Pasal 3 Ayat (2) huruf d pada Per­men Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pe­ngelolaan dana BOS Reguler.

Maman berharap pasal tersebut direvisi atau dihilangkan, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan hingga ke wilayah terpencil.

Disebutkan Maman, sesuai amanat UUD 1945, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan men­cerdaskan kehidupan bang­sa.

Dengan kata lain, pen­di­dik­an merupakan hak prero­gatif pemerintah sehingga ha­rus dilaksanakan sebaik-baik­nya.

Baca Juga: Epidemiolog UI Yakin Kasus Covid-19 Bisa di Bawah 100.000, Dengan Syarat

"Dengan terbitnya peratur­an menteri yang membatasi sekolah itu, kami menilai bah­wa ini jelas belum waktunya. Apalagi pendidikan itu tidak hanya terselenggara di kota, namun juga di desa-desa hingga ke tempat pelosok," kata Maman.

Sekolah-sekolah yang ter­dapat di daerah terpencil misalnya di Cianjur selatan, Suka­bumi selatan, atau Garut selatan, masih banyak sekolah yang memiliki murid di bawah 60 orang.

Hal itu merupakan suatu hal yang wajar, karena kepadatan penduduk rendah dan jarak sekolah berjauhan sehingga sulit dimerger.

"Kalau lihatnya hanya di kota, kondisi itu (se­kolah yang memiliki kurang dari 60 siswa) tidak ada, tapi kalau sampai di pelosok di daerah banyak. Kalau permen itu diberlakukan tahun-tahun mendatang, apa­­­­­kah pendidikan di sana akan dibiarkan tidak karuan karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik bangunan sekolah maupun biaya operasionalnya?" ujar­nya.

Maman berpendapat, me­minta bayaran tinggi di sekolah terpencil akan sangat ti­dak bijak. Begitu pula dengan meminta kesediaan masya­ra­kat untuk ikut membiayai ope­­rasional sekolah, apalagi ka­rena laju perekonomian di desa tidak sebaik di kota besar.

Di Bandung, sekolah de­ngan jumlah siswa kurang dari 60 orang tercatat ada 20 sekolah dan merupakan itu sekolah swasta. Sekolah-sekolah tersebut masih menerima dana BOS.

Baca Juga: 4 Ton Beras Bansos Diduga Dijual, Polres Jayawijaya: Ini Hak Masyarakat

Mutu baik

Sekretaris Dinas Pendidik­an Kota Bandung Cucu Sa­put­ra mengatakan, ada bebe­rapa faktor sekolah memiliki siswa kurang dari 60 orang. Salah satunya, sekolah tidak bisa meningkatkan mutu pen­didikan sehingga kalah bersaing dengan sekolah lain.

"Justru terbalik, sekarang sekolah yang kekurangan sis­w­a berada di kota, bukan di pelosok. Di ­kota terlalu banyak pesaing," ucap Cucu.

Seiring dengan sistem zo­nasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB), masya­ra­kat kini berpikir untuk men­cari sekolah terdekat yang mu­tunya baik. Hal itu juga membuat persaingan antarsekolah semakin ketat.

Selain itu, kondisi demo­­g­rafi setempat telah berubah. Sebagian besar warga di sekitar sekolah telah beranjak dewasa sehingga tak ada lagi warga usia sekolah.

Dia berharap dengan ada­nya Permendikbudristek itu, sekolah yang kekurangan sis­wa bisa lebih mudah ditertib­kan.

Sekolah-sekolah bisa di­merger kemudian dibina agar bisa meningkatkan mutu pen­didikan. Disdik Kota Bandung pun menunggu arahan dari pemerintah pusat tentang langkah yang harus diambil untuk sekolah yang sis­wanya di bawah 60 orang.

Selama ini, pener­tiban belum dilakukan oleh Disdik Kota Bandung karena alasan humanisme.

Baca Juga: Kronologi Kebakaran di Lapas Tangerang yang Tewaskan 41 Orang

Kebijakan

Pengamat hukum ketata­ne­garaan Universitas Parah­yangan Asep Warlan menyebut, kebijakan atau per­aturan perundang-undangan dapat ditunda keberlakuannya karena pertimbangan kemanfaatan.

Peratur­an dibuat tidak hanya untuk keadilan, tapi juga kebermanfaatan atau kemaslahatan.
Namun, ada baiknya, pemerintah juga menjelaskan penundaan itu d­a­lam bentuk kajian.

Misalnya tentang BOS, ada kajian bahwa sekolah sangat membutuhkannya ter­utama pada ma­­sa pandemi.

Apalagi sekolah swasta yang dipastikan mengalami kesulitan keuang­an pada masa pandemi akan tertolong dengan adanya dana BOS.

Baca Juga: Tanaman Aren Dapat Gerakkan Ekonomi Lokal, Ini 4 Manfaatnya untuk Kesehatan

"Boleh ditunda keberlaku­an­nya karena ada substansi yang tidak diterima oleh publik. Ini tidak bisa disebut Kementerian Pendidikan me­langgar aturan yang telah dia buat," ucapnya.

Kendati demikian, peme­rintah harus konsisten de­ngan aturan yang dia buat. Penundaan ini sebetulnya ada dalam ketentuan peralihan yang disebut dengan hukum antarwaktu.

Asep mengatakan, harus dijelaskan penundaan itu akan berlangsung berapa lama. Selain itu dijelaskan juga selama penundaan apa yang akan dilakukan.

Terkait BOS, Asep menyebut, setelah penundaan da­lam waktu tertentu, peme­rin­tah dapat mengambil lang­kah dari tiga pilihan yang ada.

Pertama, men­ca­but pasal tersebut ka­rena ter­nyata tidak di­temukan adanya keman­fa­at­an. Pencabutannya mela­lui peraturan menteri juga.

Kedua, adanya kajian pene­rapan atau executive review untuk mengkaji dampaknya. Namun, pada proses ini, atur­an tersebut harus diberlaku­kan agar tahu dampaknya se­perti apa.

Proses ini disebut juga regulatory impact assesment (RIA).***(Dewiyatini, Muhammad Ashari, Rani Ummi Fadila, Endah Asih/Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Muhammad ZA

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x