PORTAL BONTANG - Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim menunda aturan minimum 60 murid agar sekolah dapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Aturan minimum untuk memperoleh dana BOS reguler 2021-2022 yang akan diterapkan Kemendikbud Ristek sebelumnya menuai polemik di kalangan sekolah dan pendidik.
Penundaan aturan baru dana BOS tersebut disampaikan Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu, 8 September 2021.
Baca Juga: Perut Adalah Sumber Penyakit Dalam Tubuh? dr. Zaidul Akbar Beri Jawabannya
Dikutip PortalBontang.com dari berita Pikiran-Rakyat.com berjudul "Nadiem Makarim Tunda Aturan Baru BOS, Pandemi Covid-19 Jadi Alasan".
Menurut Nadiem, dasar pengkajian berangkat dari besarnya dampak pandemi Covid-19.
Perlu fleksibilitas dan tenggang rasa kepada sekolah yang masih sulit melakukan transisi untuk menjadi sekolah yang skala minimumnya lebih besar.
"Itulah yang ingin kami lakukan. Kami tidak akan memberlakukan persyaratan ini pada 2022. Semoga ini bisa menenangkan masyarakat," tuturnya.
Baca Juga: Amel Carla Kenalan dengan Buaya Riska di Bontang, Lihat Aksinya
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Sofyan Tan berharap persyaratan itu tak hanya ditangguhkan sampai 2022, tapi sampai 2024.
Hal itu berangkat dari kondisi perbaikan ekonomi yang kemungkinan besar bisa pulih dalam jangka waktu 2-3 tahun.
"Memang hari ini pandemi melandai, tapi kerusakan ekonomi baru bisa pulih dalam 2-3 tahun sehingga kondisi ini berdampak terhadap masyarakat kita," tuturnya.
Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengatakan, persyaratan dana BOS pantas diberlakukan untuk meningkatkan kinerja sekolah, khususnya swasta.
Baca Juga: Update Kasus Covid-19 Bontang 8 September 2021: Angka Positif Kembali Tinggi, Jangan Lengah
Syarat minimum 60 siswa dalam penyaluran dana BOS dipandang memiliki niat baik, yakni memacu kinerja sekolah sekaligus mengelola sekolah-sekolah agar bisa sehat.
Bagi sekolah-sekolah yang berada di lokasi (terdepan, terluar, tertinggal (3T) dan kuota muridnya tak memenuhi syarat, Heru menilai perlu ada opsi BOS lain yang bisa digunakan.
Misalnya, BOS Afirmasi dan BOS Kinerja. Bila pemerintah tak memberlakukan persyaratan ini, Heru menilai, langkah tersebut bisa jadi tak mendidik agar sekolah tersebut berjuang, menarik simpati masyarakat sehingga bisa menerima murid dengan lebih banyak lagi.
"Apabila pengelola pendidikan berbasis masyarakat bekerja keras memajukan sekolah dan berhasil merebut hati serta meyakinkan orang tua, maka jumlah minimal peserta didik 60 orang tersebut dapat dipenuhi dalam kurun waktu 1-6 tahun. Jadi silahkan pihak sekolah swasta berkompetisi memenuhi target jumlah minimum siswa sesuai ketentuan pemerintah," katanya.
Baca Juga: Daftar Lengkap Tarif Tol Balikpapan-Samarinda Antar Gerbang, Berlaku Mulai 8 September 2021
Sulit merger
Sekjen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Barat Maman Sulaeman mengapresiasi langkah Nadiem yang memastikan tidak akan memberlakukan Pasal 3 Ayat (2) huruf d pada Permen Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan dana BOS Reguler.
Maman berharap pasal tersebut direvisi atau dihilangkan, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan hingga ke wilayah terpencil.
Disebutkan Maman, sesuai amanat UUD 1945, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan hak prerogatif pemerintah sehingga harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Baca Juga: Epidemiolog UI Yakin Kasus Covid-19 Bisa di Bawah 100.000, Dengan Syarat
"Dengan terbitnya peraturan menteri yang membatasi sekolah itu, kami menilai bahwa ini jelas belum waktunya. Apalagi pendidikan itu tidak hanya terselenggara di kota, namun juga di desa-desa hingga ke tempat pelosok," kata Maman.
Sekolah-sekolah yang terdapat di daerah terpencil misalnya di Cianjur selatan, Sukabumi selatan, atau Garut selatan, masih banyak sekolah yang memiliki murid di bawah 60 orang.
Hal itu merupakan suatu hal yang wajar, karena kepadatan penduduk rendah dan jarak sekolah berjauhan sehingga sulit dimerger.
"Kalau lihatnya hanya di kota, kondisi itu (sekolah yang memiliki kurang dari 60 siswa) tidak ada, tapi kalau sampai di pelosok di daerah banyak. Kalau permen itu diberlakukan tahun-tahun mendatang, apakah pendidikan di sana akan dibiarkan tidak karuan karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik bangunan sekolah maupun biaya operasionalnya?" ujarnya.
Maman berpendapat, meminta bayaran tinggi di sekolah terpencil akan sangat tidak bijak. Begitu pula dengan meminta kesediaan masyarakat untuk ikut membiayai operasional sekolah, apalagi karena laju perekonomian di desa tidak sebaik di kota besar.
Di Bandung, sekolah dengan jumlah siswa kurang dari 60 orang tercatat ada 20 sekolah dan merupakan itu sekolah swasta. Sekolah-sekolah tersebut masih menerima dana BOS.
Baca Juga: 4 Ton Beras Bansos Diduga Dijual, Polres Jayawijaya: Ini Hak Masyarakat
Mutu baik
Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bandung Cucu Saputra mengatakan, ada beberapa faktor sekolah memiliki siswa kurang dari 60 orang. Salah satunya, sekolah tidak bisa meningkatkan mutu pendidikan sehingga kalah bersaing dengan sekolah lain.
"Justru terbalik, sekarang sekolah yang kekurangan siswa berada di kota, bukan di pelosok. Di kota terlalu banyak pesaing," ucap Cucu.
Seiring dengan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB), masyarakat kini berpikir untuk mencari sekolah terdekat yang mutunya baik. Hal itu juga membuat persaingan antarsekolah semakin ketat.
Selain itu, kondisi demografi setempat telah berubah. Sebagian besar warga di sekitar sekolah telah beranjak dewasa sehingga tak ada lagi warga usia sekolah.
Dia berharap dengan adanya Permendikbudristek itu, sekolah yang kekurangan siswa bisa lebih mudah ditertibkan.
Sekolah-sekolah bisa dimerger kemudian dibina agar bisa meningkatkan mutu pendidikan. Disdik Kota Bandung pun menunggu arahan dari pemerintah pusat tentang langkah yang harus diambil untuk sekolah yang siswanya di bawah 60 orang.
Selama ini, penertiban belum dilakukan oleh Disdik Kota Bandung karena alasan humanisme.
Baca Juga: Kronologi Kebakaran di Lapas Tangerang yang Tewaskan 41 Orang
Kebijakan
Pengamat hukum ketatanegaraan Universitas Parahyangan Asep Warlan menyebut, kebijakan atau peraturan perundang-undangan dapat ditunda keberlakuannya karena pertimbangan kemanfaatan.
Peraturan dibuat tidak hanya untuk keadilan, tapi juga kebermanfaatan atau kemaslahatan.
Namun, ada baiknya, pemerintah juga menjelaskan penundaan itu dalam bentuk kajian.
Misalnya tentang BOS, ada kajian bahwa sekolah sangat membutuhkannya terutama pada masa pandemi.
Apalagi sekolah swasta yang dipastikan mengalami kesulitan keuangan pada masa pandemi akan tertolong dengan adanya dana BOS.
Baca Juga: Tanaman Aren Dapat Gerakkan Ekonomi Lokal, Ini 4 Manfaatnya untuk Kesehatan
"Boleh ditunda keberlakuannya karena ada substansi yang tidak diterima oleh publik. Ini tidak bisa disebut Kementerian Pendidikan melanggar aturan yang telah dia buat," ucapnya.
Kendati demikian, pemerintah harus konsisten dengan aturan yang dia buat. Penundaan ini sebetulnya ada dalam ketentuan peralihan yang disebut dengan hukum antarwaktu.
Asep mengatakan, harus dijelaskan penundaan itu akan berlangsung berapa lama. Selain itu dijelaskan juga selama penundaan apa yang akan dilakukan.
Terkait BOS, Asep menyebut, setelah penundaan dalam waktu tertentu, pemerintah dapat mengambil langkah dari tiga pilihan yang ada.
Pertama, mencabut pasal tersebut karena ternyata tidak ditemukan adanya kemanfaatan. Pencabutannya melalui peraturan menteri juga.
Kedua, adanya kajian penerapan atau executive review untuk mengkaji dampaknya. Namun, pada proses ini, aturan tersebut harus diberlakukan agar tahu dampaknya seperti apa.
Proses ini disebut juga regulatory impact assesment (RIA).***(Dewiyatini, Muhammad Ashari, Rani Ummi Fadila, Endah Asih/Pikiran-Rakyat.com)
Artikel Rekomendasi